Minggu, 30 November 2014

Kasus Kejahatan Korporasi

Mantan Deputi BPKS Didakwa korupsi Rp 313 M

   Mantan Deputi Teknik Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) Ramadhany Ismy didakwa melakukan tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain. Ramdhany selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang tahun 2006-2011 diduga melakukan korupsi yang dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp 313.345.743.535,19.

   "Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan secara melawan hukum. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," kata Jaksa Penuntut Umum pada KPK Iskandar Marwanto saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasunda Said, Jakarta, Senin (29/9/2014).

   Dibeberkan Jaksa, Ramdhany menerima duit Rp 3.204.500.000 dari pelaksanaan proyek tersebut. Tak hanya itu, sejumlah duit juga mengalir ke beberapa pejabat yakni: mantan Kepala PT Nindya Karya Heru Sulaksono Rp34.055.972.542, Mantan Kepala BPKS Teuku Syaiful Achmad Rp7.490.000.000, Pegawai PT Nindya Karya cabang Sumut dan Aceh yang ditunjuk sebagai Kepala Proyek Pembangunan Dermaga Sabang Sabir Said Rp12.721.769.404, Direktur PT Tuah Sejati M Taufik Reza Rp1.350.000.000.

   Selanjutnya, Bayu Ardhianto Rp4.391.616.851, Saiful Ma'ali Rp1.229.925.000, Zainuddin Hamid Rp7.535.000.000, Ruslan Abdul Gani Rp100.000.000, Ananta Sofwan Rp977.729.000, PT Nindya Karya Rp44.681.053.100, PT Tuah Sejati Rp49.908.196.378, PT Budi Perkasa Alam Rp14.304.427.332, PT Swarna Baja Pacific Rp1.757.437.767,45 dan pihak lainnya Rp129.543.116.165,24.

   Dalam uraiannya, jaksa mengungkapkan dalam pembangunan konstruksi Dermaga Bongkar Sabang tahun 2006, Ramdhany ditunjuk sebagai sekretaris panitia pengadaan. Tetapi, sebelum pelaksanaan lelang telah lebih dulu ada kesepakatan antara Heru Sulaksono dan Zubir Salim untuk memenangkan PT Nindya Karya cabang Sumatera Utara yang membuat kerja sama dengan PT Tuah sejati sehingga membentuk PT Nindya Sejati JO.

   Setelah diadakan pelelangan, lantas PT Nindya Sejati JO memenangkan lelang. BPKS kemudian membayarkan uang muka 20% dari nilai kontrak setelah dipotong pajak Rp1.266.106.146 pada 2004. Namun, pada kenyataannya sampai dengan berakhirnya kontrak perusahaan itu tidak melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya.

   Pada akhir Desember terjadi tsunami di Aceh sehingga pengerjaan Sabang pada tahun 2005 terhenti. Dan pada tahun 2006 BPKS melakukan review master plan dan bisnis plan untuk melanjutkan kembali pembangunan dermaga bongkar Sabang pada tahun berikutnya.

   Atas keinginan itu, lagi-lagi Ramdhany kata jaksa kembali menunjuk PT Nindya Sejati JO untuk melanjutkan pembangunan dermaga bongkar. Penunjukan itu diketahui dilakukan secara tunjuk langsung. Belakangan diketahui PT Nindya justru mengalihkan pekerjaan utama kepada CV SAA inti Karya dan pembelian tiang pancang beton kepada PT Wika Beton.

   Di akhir kontrak dikeluarkan laporan pekerjaan telah mencapai 100%. Namun, dalam kenyataanya pekerjaan tidak selesai 100%.

   "Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Atau Pasal 3 Jo Pasal 18 UU tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP," pungkas jaksa Iskandar.


HALIMATUS SADIYAH
4EA09
13211162

Minggu, 16 November 2014

Kasus Pelanggaran Etika Bisnis

PELANGGARAN ETIKA BISNIS TERHADAP STAKEHOLDER
Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan.

Persaingan dalam dunia bisnis sebenernya merupakan hal yang wajar bahkan dapat mendorong pengusaha untuk lebih memajukan bisnisnya, misalnya dengan meningkatkan kualitas serta kuantitas barang ataupun memberikan pelayanan yang terbaik kepada para konsumennya. Namun pada kenyataannya seiring makin ketatnya persaingan banyak pesaing yang melakukan pelanggaran dalam hal etika berbisnis.

Dalam hal ini akan membahas produk mie instan antara merek Mie Sedaap produksi dari WINGSFOOD dengan Supermi Sedaaap produksi dari INDOFOOD. 

Produk yang dianggap sebagai merek generik adalah merek Mie Sedaap produksi dari WINGSFOOD dengan Supermi Sedaaap produksi dari INDOFOOD. Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa kedua merek tersebut sebenarnya berasal dari perusahaan yang berbeda. Produk Mie Sedaap yang pertama, dibawahi oleh perusahaan WINGSFOOD merupakan produk dengan merek “Mie Sedaap” 
yang lebih dahulu muncul. Sedangkan pesaingnya, yaitu Mi Sedaaap atau lebih tepatnya Supermi Sedaaap (Merek Tiruan), adalah Merek yang kedua, yang diproduksi oleh INDOFOOD. 

Jika di pasaran, konsumen yang kurang teliti akan menganggap kedua produk tersebut sama karena sebenarnya kata-kata “sedap” lah yang biasa didengar dan muncul di benak konsumen. Oleh karena itu saat mereka melihat tulisan “sedap” yang tertera di kemasan, tanpa sempat memperhatikan jumlah huruf “a”nya, mereka langsung membeli produk tersebut.

Setelah diamati terdapat perbedaan penulisan pada kata “sedap” di mana yang satu menuliskan dengan “aa” dan satunya lagi “aaa”. Beberapa konsumen menganggap ”Mie Sedaap” dan ”Supermi Sedaaap” adalah satu produsen, apalagi Supermi bisa dikatakan sebagai induk dari semua mi instant di Indonesia, jadi bukan suatu hal yang mustahil jika masyarakat akhirnya lebih memilih ”Supermi” yang lebih punya nama dibandingkan dengan ”Mie Sedaap” yang asli. Hal ini tentunya sangat merugikan WINGSFOOD karena adanya persamaan pada pokoknya tersebut dapat berdampak pada merosotnya omzet penjualan produk “Mie Sedaap” itu sendiri. 

Selain itu, juga merugikan konsumen yang memang menggemari “Mie Sedaap” karena mereka merasa tertipu apabila mereka salah membeli produk hanya karena tidak memperhatikan jumlah huruf “a” pada Merek. 

Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, pada kasus ini pemilik merek dagang “Mie Sedaap” yang pertama bisa menuntut perusahaan Supermi atas produk yang dianggap meniru produk dagangnya. 

           VS              
     Merek ”Mie Sedaap”                                 Merek ”Supermie” dari Indofood
     dari Wingsfood                                         menggunakan slogan ”Sedaaap, 
                                                                                pasti sedaaapnya”. 

Dalam kasus ini, Supermi Sedaaap melanggar hak milik industri terkait dengan merek produk, desain tulisan, atau kemasan yang sama atau hampir sama. Hak milik industri ini berlaku selama 10 tahun, jika setelah jangka waktu tersebut produsen, dalam hal ini WINGSFOOD, tidak mendaftarkan lagi produk dagangnya, maka perusahaan lain baru bisa mengambil alih penggunaan Merek dagang tersebut.

Dari contoh kasus yang diduga sebagai merek generik tersebut, maka dapat dilihat, permasalahan ini dapat menimbulkan kesimpang siuran dalam hal percakapan bertransaksi antara penjual dan pembeli serta dapat menimbulkan kebingungan masyarakat pada saat membeli produk tersebut. Kasus ini merupakan pelanggaran Pasal 5 ayat (d) pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftarannya.

SUMBER : http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20302989-T30662%20-%20Pemberian%20hak.pdf